Sabtu, 02 Oktober 2010

Majza'ah, Perenang Handal

Ada pesan khusus dari Khalifah Umar bin Khattab kepada panglima Abu Musa al Asy’Ari saat ditugaskan mengejar Hurmuzan dan pasukannya, “Sertakan penunggang kuda bernama Majza’ah bin ats Tsaur as Sadusi dalam pasukanmu.” Siapakah Majza’ah? Sampai-sampai Khalifah harus menyebut namanya secara khusus agar diikut sertakan dalam satuan pasukan?
Mari kita simak kisah shahabat yang satu ini.

Pasukan Abu Musa dari Kufah bergabung dengan pasukan dari Bashrah lalu bertolak menuju Ahwaz, salat satu daerah kekuasaan Persia. Selain pengejaran, target lain pasukan Islam kali ini adalah menaklukkan kota Tustar, tempat di mana Hurmuzan bersembunyi. Tustar adalah salah satu permata terindah yang dimiliki Persia. Dibangun dengan sangat cerdas di atas sebuah dataran tinggi yang memiliki sungai besar bernama Dujail, berikut waduk yang dibangun oleh Raja Sabur. Tak hanya megah, Tustar juga dikelililingi benteng yang menurut ahli sejarah adalah benteng terkuat yang pernah ada. Benteng menjulang itu semakin sulit ditembus dengan adanya parit yang mengelililinginya dari ujung ke ujung serta dijaga prajurit-prajurit terkuat.

Dan benarlah, setelah sampai di sana dan melakukan pengepungan, sampai 11 bulan pasukan Islam tak sedikitpun mampu mendekat. Hari demi hari hanya dilalui dengan perang tanding sebelum akhirnya terjadi peperangan yang tak terlalu berdampak. Nah, di sinilah Majza’ah mulai menunjukkan jati dirinya. Kapan? Saat perang tanding. Bayangkan, ada 100 pertandingan yang berhasil dimenangkan singa Islam yang satu ini. Artinya, ada 100 jagoan dari Persia yang tak hanya K.O. tapi tewas di ujung pedangnya. Luar biasa ! Setelah itu, barulah Abu Musa dan para pasukan mengerti, mengapa Khalifah sedikit memaksa agar Majza’ah diikutkan dalam barisan.

Setelah 11 bulan yang melelahkan itu, pasukan musuh malah mundur dan masuk ke gerbang lalu menutupnya. Dan itulah awal penderitaan yang lebih mengerikan yang harus dihadapi pasukan kaum muslimin. Kini musuh mengandalkan sniper-sniper mereka untuk menembaki pasukan Islam dari atas benteng. Mereka juga melemparkan sejenis rantai dengan kait-kait tajam pada ujungnya. Siapapun yang berani mendekat, kait-kait itu akan merobek dan mencincang dagingnya.

Saat itu, pasukan Islam hanya bisa berharap bantuan dari Allah. Di saat yang genting dan memancing keputusasaan itu, tiba-tiba Abu Musa mendapatkan surat yang dikirim dengan anak panah yang dilempar oleh seseorang dari atas benteng musuh. Isinya, si pelempar bisa menunjukkan celah agar kaum muslimin bisa menembus benteng dan masuk ke kota. Syaratnya, ia dan keluarganya diberi jaminan keamanan. Abu Musa pun menyetujuinya dengan membalasnya melalui anak panah. Lelaki itupun turun  dengan diam-diam lalu menjelaskan mengapa ia ‘berkhianat’. Ternyata, Hurmuzan telah membunuh kakak sulungnya, merampas harta dan keluarganya. Karenananya, ia ingin agar pasukan Abu Musa membalaskan dendamnya. Satu pelajaran, kezhaliman kita berpotensi mengubah teman menjadi lawan.
Setelah disepakati, ia meminta satu orang pasukan Islam yang benar-benar pandai berenang untuk membuka celah itu.

Abu Musa memanggil Majza’ah dan meminta satu orang dari kaumnya yang pandai berenang untuk ikut bersama orang asing tersebut. Ternyata, Majza’ah tidak menunjuk orang lain, dia katakan, dia pandai berenang dan siap melaksanakan tugas tersebut. Abu Musa pun menyetujuinya dan memerintahkan agar Majza’ah fokus pada misi untuk mencari celah dan tidak melakukan hal lain.

Orang asing itupun membawa Majza’ah menuju satu lorong yang menghubungkan antara sungai dengan pusat kota. Lorong berair itu kadang lebar sehingga ia bisa berjalan, kadang pula sempit hingga harus berenang dan menyelam. Akhirnya ia bisa sampai di pusat kota, tempat di mana Hurmuzan tinggal. Bahkan dalam penyusupan itu, ia sempat melihat Hurmuzan dan berniat membunuhnya, tapi ia urungkan karena teringat pesan Abu Musa.

Misi sukses. Hari berikutnya, Abu Musa memilih 300 tentara terkuat agar menerobos bersama Majza’ah. Majza’ah berpesan pada pasukan perintis itu agar mereka tidak membawa apapun selain pedang. Bahkan pakaian pun tidak boleh yang berkain tebal agar tidak memberatkan.
Bersamaan dengan itu pasukan Abu Musa juga berangkat menuju gerbang yang direncanakan bakal dibuka dari dalam oleh 300 pasukan. Di sinilah kekuataan Majza’ah kembali tampak. Dari 300 pasukan itu, 220 orang gugur saat lorong bawah tanah yang ganas itu. 80 sisanya, termasuk Majza’ah, berhasil mencapai ujung lalu serempak berhamburan menuju gerbang sembari bertakbir. Takbir mereka disambut takbir oleh pasukan Abu Musa yang telah menunggu dan hendak merangsek ke dalam. Perang pun mendadak pecah dengan dahsyatnya. Gerbang dibuka dan pasukan Islam menyerbu ke dalam.

Dari kejauhan, Majza’ah melihat Hurmuzan. Dengan penuh keberanian, ia mendekat dan langsung berduel dengannya. Akan tetapi, perjuangannya menempuh lorong telah menyedot kekuatannya. Ia berhasil melukai Hurmuzan, tetapi sabetan Hurmuzan lebih dalam dan membuatnya jatuh ke tanah. Tubuh pendekar hebat itu tersungkur dan menjemput keberuntungannya sebagai syahid.
Lalu, perang pun berakhir, dan Hurmuzan berhasil ditawan. Pasukan Islam pulang membawa berita gembira atas kemenangan mereka, juga sebuah berita takziyah atas meninggalnya pahlawan Islam sejati, Majza’ah bin ats Tsaur as Sadusi.

Bagi kaum muslimin, gugurnya Majza’ah adalah berita yang sangat mengharukan dan membuat mereka kehilangan. Tapi bagi Majza’ah sendiri, insya’Allah, adalah sebuah happy ending dari kisah hidupnya yang penuh heroisme itu. Tidak masalah meski Hurmuzan tidak tewas di tangannya. Di akherat kelak, yang akan melambungkan namanya bukanlah nama musuh yang dibunuhnya, tapi besarnya  perngorbanan yang telah diberikan untuk menegakkan dien-Nya. Allahu Akbar !


(Sumber; Majalah ar Risalah edisi 111, dari Shuwarun min Hayatish Shahabah, DR. Abdurrahman Ra’fat Basya, Dar an Nafa’is, Beirut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar