Kamis, 03 Mei 2012

Tertawa

Duka melanda Kampung Batu Gamping manakala salah seorang ulama besar, yakni Syaikh Idris Al Banjari, berpulang ke rahmatullah. Kabar duka ini segera menyebar ke seluruh pelosok negeri. Sehingga ribuan orang datang ke kampung Batu Gamping untuk melayat. Bahkan, Sultan Abdurrahim yang sedang sakit pun mengutus perdana Menteri Ibrahim untuk mewakilinya bertakziah kepada keluarga almarhum dan keluarga besar Pesantren Darul Hikmah. Hal itu dilakukan sultan sebagai penghormatannya kepada almarhum Syaikh Idris yang merupakan Syaikh besar yang sangat berpengaruh di Kesultanan Riak Damai.
Murid-murid almarhum tampak sibuk menerima pelayat yang terus berdatangan. Namun, dari sekian banyak murid almarhum, hanya Bujang yang belum datang. Karena itu, Bahtiar segera menyuruh orang untuk memanggil Bujang yang sedang bekerja di kampung tetangga. Sementara itu, Hasan dan Imam tampak kebingungan untuk menyuruh diam para pelayat yang histeris menangisi kepergian sang Syaikh.
“Hasan, bagaimana caranya mendiamkan mereka?” Tanya imam kebingungan.
“Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Mereka terlalu banyak. Sangat sulit meminta mereka untuk tidak meratapi kepergian guru,” ujar Hasan sambil menyeka keringatnya.
“Kasihan guru. Jalannya terhambat karena tangisan ini,” ujar Imam pasrah.
“Kakak, Bujang datang,” bisik seorang murid Syaikh Idris kepada Hasan.
Bahtiar, Hasan, dan Imam beserta beberapa murid lainnya segera menyambut kedatangan Bujang yang tampak tergesa-gesa itu. Bujang datang dengan wajah sedih karena memendam kedukaan yang dalam. Bahtiar, Hasan, dan Imam berusaha menenangkan Bujang. Tetapi, Bujang tidak mempedulikan mereka. Ia terus berjalan menuju jenazah gurunya. Kemudian ia mendekati jenazah sang Syaikh lalu mencium keningnya.
“Mak Guru, apakah Tuan Guru sempat membaca kalimat tauhid?” Tanya Bujang yang sudah menguasai dirinya.
“Iya, Bujang. Beliau sempat membacanya tiga kali,” ujar Mak Guru sedih.
“Alhamdulillah.”
Kemudian Bujang berjalan keluar dari kamar gurunya. Sesampainya dihalaman, tiba-tiba saja ia tertawa tergelak-gelak. Lalu ia menari-nari kegirangan sambil berteriak-teriak mensyukuri kematian gurunya. Tentu saja semua yang hadir dibuat terkejut oleh suara tawa Bujang yang keras itu. Mereka saling pandang dan saling berbisik. Mereka mengira bahwa Bujang sudah menjadi gila karena kematian gurunya.
“Pengawal, tangkap pemuda itu!” perintah Perdana Menteri Ibrahim yang berada tidak jauh dari Bujang.
Setelah mendengar perintah sang perdana menteri, maka para pengawal istana segera meringkus Bujang. Kemudian mereka membawanya kehadapan Perdana Menteri Ibrahim. Beberapa saat kemudian Bahtiar, Hasan, dan Imam serta beberapa murid lainnya sudah berada ditempat itu. Mereka mengira telah terjadi keributan antara Bujang dan para pengawal istana.
“Tuan Perdana Menteri, apa salahku? Lepaskanlah aku!” ujar Bujang.
“Hai anak muda. Apa kau sudah gila hingga mensyukuri kematian gurumu?” Tanya Perdana Menteri Ibrahim.
“Hamba tidak gila, Tuanku. Kalau Tuanku mengetahui apa yang hamba ketahui, mungkin Tuanku dapat memaklumi perbuatan hamba,” ujar Bujang yang telah dilepaskan oleh para pengawal yang meringkusnya.
“Apa maksudmu?”
“Tuanku, apakah orang yang senang akan tertawa atau justru akan menangis terisak-isak?” Tanya Bujang.
“Tentu saja ia akan tertawa kegirangan. Aku tidak pernah melihat orang yang senang justru menangis terisak-isak,” jawab Perdana Menteri Ibrahim dengan suara berwibawa.
“Bagaimana jika ada orang yang justru menangis terisak-isak karena orang yang dikasihinya mendapat kebahagiaan?” Tanya Bujang lagi.
“Jika memang ada, maka orang seperti itu adalah orang bodoh yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia tidak rela dengan kebahagiaan orang lain,” jawab Perdana Menteri Ibrahim.
“Ya, Tuanku Ibrahim. Salahkah hamba jika tertawa kegirangan karena guru hamba mendapatkan janji surga dari Rasulullah? Ataukah, hamba harus menangis meratap seperti mereka yang mementingkan dirinya sendiri?” Tanya Bujang dengan suara keras sehingga terdengar oleh semua pelayat.
Perdana Menteri Ibrahim terkejut mendengar pertanyaan Bujang. Para pelayat juga ikut terkejut. Karena itu, mereka segera menghentikan tangisan dan ratapan yang berlebih-lebihan. Kemudian mereka menundukkan kepalanya karena malu dianggap sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Sementara itu, Bahtiar, Hasan, dan Imam segera memeluk Bujang yang masih memendam kedukaan yang dalam. Keempat saudara seperguruan tersebut benar-benar merasa kehilangan seseorang yang sangat mereka kasihi.