Murid-murid almarhum tampak sibuk menerima pelayat yang terus
berdatangan. Namun, dari sekian banyak murid almarhum, hanya Bujang yang belum
datang. Karena itu, Bahtiar segera menyuruh orang untuk memanggil Bujang yang
sedang bekerja di kampung tetangga. Sementara itu, Hasan dan Imam tampak
kebingungan untuk menyuruh diam para pelayat yang histeris menangisi kepergian
sang Syaikh.
“Hasan, bagaimana caranya mendiamkan mereka?” Tanya imam
kebingungan.
“Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Mereka terlalu banyak.
Sangat sulit meminta mereka untuk tidak meratapi kepergian guru,” ujar Hasan
sambil menyeka keringatnya.
“Kasihan guru. Jalannya terhambat karena tangisan ini,” ujar
Imam pasrah.
“Kakak, Bujang datang,” bisik seorang murid Syaikh Idris
kepada Hasan.
Bahtiar, Hasan, dan Imam beserta beberapa murid lainnya
segera menyambut kedatangan Bujang yang tampak tergesa-gesa itu. Bujang datang dengan wajah sedih karena memendam kedukaan
yang dalam. Bahtiar, Hasan, dan Imam berusaha menenangkan Bujang. Tetapi,
Bujang tidak mempedulikan mereka. Ia terus berjalan menuju jenazah gurunya.
Kemudian ia mendekati jenazah sang Syaikh lalu mencium keningnya.
“Mak Guru, apakah Tuan Guru
sempat membaca kalimat tauhid?” Tanya Bujang yang sudah menguasai dirinya.
“Iya, Bujang. Beliau sempat
membacanya tiga kali,” ujar Mak Guru sedih.
“Alhamdulillah.”
Kemudian Bujang berjalan
keluar dari kamar gurunya. Sesampainya dihalaman, tiba-tiba saja ia tertawa
tergelak-gelak. Lalu ia menari-nari kegirangan sambil berteriak-teriak
mensyukuri kematian gurunya. Tentu saja semua yang hadir dibuat terkejut oleh
suara tawa Bujang yang keras itu. Mereka saling pandang dan saling berbisik.
Mereka mengira bahwa Bujang sudah menjadi gila karena kematian gurunya.
“Pengawal, tangkap pemuda itu!” perintah Perdana Menteri
Ibrahim yang berada tidak jauh dari Bujang.
Setelah mendengar perintah sang perdana menteri, maka para
pengawal istana segera meringkus Bujang. Kemudian mereka membawanya kehadapan
Perdana Menteri Ibrahim. Beberapa saat kemudian Bahtiar, Hasan, dan Imam serta
beberapa murid lainnya sudah berada ditempat itu. Mereka mengira telah terjadi
keributan antara Bujang dan para pengawal istana.
“Tuan Perdana Menteri, apa
salahku? Lepaskanlah aku!” ujar Bujang.
“Hai anak muda. Apa kau sudah
gila hingga mensyukuri kematian gurumu?” Tanya Perdana Menteri Ibrahim.
“Hamba tidak gila, Tuanku.
Kalau Tuanku mengetahui apa yang hamba ketahui, mungkin Tuanku dapat memaklumi
perbuatan hamba,” ujar Bujang yang telah dilepaskan oleh para pengawal yang
meringkusnya.
“Apa maksudmu?”
“Tuanku, apakah orang yang
senang akan tertawa atau justru akan menangis terisak-isak?” Tanya Bujang.
“Tentu saja ia akan tertawa
kegirangan. Aku tidak pernah melihat orang yang senang justru menangis
terisak-isak,” jawab Perdana Menteri Ibrahim dengan suara berwibawa.
“Bagaimana jika ada orang yang justru menangis terisak-isak
karena orang yang dikasihinya mendapat kebahagiaan?” Tanya Bujang lagi.
“Jika memang ada, maka orang seperti itu adalah orang bodoh
yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia tidak rela dengan kebahagiaan
orang lain,” jawab Perdana Menteri Ibrahim.
“Ya, Tuanku Ibrahim. Salahkah hamba jika tertawa kegirangan
karena guru hamba mendapatkan janji surga dari Rasulullah? Ataukah, hamba harus
menangis meratap seperti mereka yang mementingkan dirinya sendiri?” Tanya
Bujang dengan suara keras sehingga terdengar oleh semua pelayat.
Perdana Menteri Ibrahim
terkejut mendengar pertanyaan Bujang. Para
pelayat juga ikut terkejut. Karena itu, mereka segera menghentikan tangisan dan
ratapan yang berlebih-lebihan. Kemudian mereka menundukkan kepalanya karena
malu dianggap sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Sementara
itu, Bahtiar, Hasan, dan Imam segera memeluk Bujang yang masih memendam
kedukaan yang dalam. Keempat saudara seperguruan tersebut benar-benar merasa
kehilangan seseorang yang sangat mereka kasihi.